Kamis, 20 Maret 2014

HUKUM BERSALAMAN SETELAH SHOLAT

Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali A.M.
MUQODDIMAH
Menjadi suatu kelaziman bagi kebanyakan kaum muslimin di tanah air kita, setiap usai sholat berjama’ah satu per satu jama’ah mengulurkan tangannya ke samping kanan, kiri, bahkan ke belakang. Serasa kurang afdhol jika usai sholat tidak dilengkapi saling bersalam-salaman.
Dalil yang sangat mendasar dalam perkara ini tidak lain adalah hadits-hadits umum yang menganjurkan kaum muslimin untuk saling berjabat tangan yang bermanfaat menggugurkan dosa.[1] Di sisi lain, sebagian saudara kita mengatakan bahwa bersalam-salaman usai sholat adalah amalan yang tiada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia (baca : bid’ah), bahkan ada yang terang-terangan menolak dengan tegas ketika seorang awam mengulurkan tangan hendak menjabat tangannya usai sholat, lalu timbullah keracunan dan fitnah.
Bagaimanakah tinjauan Islam dalam hal ini? Jika memang tiada tuntunannya, apakah dibenarkan sikap menolak uluran tangan orang lain seusai sholat dengan dalih mengingkari kemungkaran? Marilah kita simak kajian kita ini, mudah-mudahan Allah melapangkan dada dan hati kita untuk setiap kebenaran. Amin.

MAKNA SALING BERJABAT TANGAN[2]
Bersalam-salaman – dalam bahasa kita – diambil dari bahasa Arab               yang bermakna                   (berjabat tangan). Disebut saling berjabat tangan apabila seseorang meletakkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain.[3]
Saling berjabat tangan disyari’atkan bagi sesama muslim, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin lainnya, lalu (yang satu) mengucap salam (kepada yang lainnya), dan saling berjabat tangan, niscaya akan berguguran dosa-dosa keduanya, sebagaimana bergugurannya daun pepohonan.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath : 250 dan dishahihkan oleh al-Albani[4]).

KAPAN DIANJUR SALING BERJABAT TANGAN?
Hadits di atas menunjukkan bahwa secara umum disyaria’atkan bagi seorang muslim berjabat tangan dan mengucapkan salam saat berjumpa dengan sesama muslim sebagaimana hadits yang telah jelas diatas, demikian kebiasaan para sahabat seperti yang dikatakan oleh asy-Sya’bi :


“Biasanya para sahabat Nabi jika saling berjumpa, mereka saling berjabat tangan, dan jika datang dari bepergian jauh mereka berpelukan.”[5]

Demikian juga disyari’atkan untuk saling berjabat tangan dan mengucapkan salam ketika hendak saling berpisah, sebagaimana keumuman hadits al-Baro’ bin Azib, beliau berkata :

“Termasuk di antara kesempurnaan penghormatan adalah jika engkau menjabat tangan saudaramu.”[6]

Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Siapa yang meneliti hadits-hadits tentang (anjuran) berjabat tangan ketika saling berjumpa akan menjumpai hadits-hadits tersebut lebih kuat dibandingkan hadits-hadits anjuran berjabat tangan ketika saling berpisah, maka siapa yang mengerti dirinya, akan menarik kesimpulan bahwa saling berjabat tangan yang kedua (saat berpisah) anjurannya tidak sama tingkatannya dengan anjuran berjabat tangan yang pertama (saling berjumpa), yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua hanya dianjurkan, adapun perkataan bahwa (berjabat tangan saat berpisah) itu adalah bid’ah, maka perkataan ini tidak benar sebagaimana dalil yang kami sampaikan.”[7]

HUKUM MENGKHUSUSKAN JABAT TANGAN USAI SHOLAT
Telah kita ketahui bersama bahwa mengucap salam dan berjabat tangan  dianjurkan kapan saja ketika sesama muslim saling berjumpa dan hendak berpisah. Sementara itu, tidak diketahui pada seorang pun dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta generasi berikutnya, bahwa mereka usai sholat langsung menyalami orang yang dikanan dan kirinya. Seandainya hal itu dilakukan oleh salah satu dari mereka, niscaya akan dijelaskan oleh para ulama dan akan sampai keterangannya kepada kita – walaupun hanya dengan hadits yang lemah, padahal kenyataannya tidak ada satu pun hadits yang menerangkan hal itu, bahkan banyak para ulama yang menegaskan bahwa hal itu merupakan perbuatan bid’ah.[8]
-        Berkata al-‘Izz bin Abdissalam rahimahullah, “Bersalam-salaman setelah (sholat) Subuh dan Asar termasuk bid’ah, kecuali orang yang baru datang bertemu dengan orang yang dia menyalaminya sebelum sholat, sebab berjabat tangan itu dianjurkan ketika baru datang (berjumpa). Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau setelah salam langsung berdzikir dengan dzikir-dzikir yang disyari’atkan. Beliau beristighfar tiga kali, lalu beliau berpaling, beliau mengucapkan do’a :‘Wahai Tuhanku peliharalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hambaMu.’ (HR. Muslim 62).

Demikianlah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta sahabatnya yang mulia, usai sholat langsung berdzikir. Adapun berjabat tangan usai sholat, maka akan memutuskan dzikir orang lain, dan hal itu jelas dilarang, sedang sebaik-baik perkataan agama adalah mengikuti jejak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9]
Jika bid’ah saling berjabat tangan usai sholat pada zaman al’Izz bin Abdissalam terjadi pada sholat Subuh dan Asar saja, maka pada hari ini bid’ah tersebut menjalar pada semua sholat fardhu, bahkan masuk kepada sholat lainnya.
-        Berkata al-Luknawi rahimahullah, “Sudah menyebar dua perkara (bid’ah) pada zaman kita ini di kebanyakan negara, khususnya negeri ad-Dakn yang mana dari sanalah sumber bid’ah dan fitnah-fitnah. Pertama, mereka tidak mengucapkan salam saat memasuki masjid pada waktu (hendak) sholat Subuh, tetapi mereka langsung masuk dan sholat sunnah, lalu sholat wajib (subuh), kemudian setelah sholat Subuh baru saling mengucap salam satu sama lainnya, maka ini adalah perkara yang buruk karena mengucap salam disyari’atkan saat saling berjumpa sebagaimana telah sah keterangannya dalam hadits-hadits, dan bukanlah (mengucapkan salam itu) ketika sudah duduk di tengah di majelis. Kedua, mereka saling berjabat tangan usai sholat Subuh, Asar, sholat Id, dan sholat Jum’at, padahal disyari’atkannya berjabat tangan adalah ketika awal berjumpa (bukan ketika duduk di tengah majelis).”
-        Termasuk (para ulama) yang melarang (saling berjabat tangan usai sholat) adalah Ibnu Hajar al-Haitami dari kalangan ulama madzhab asy-syafi’i,[10] beliau mengatakan, “Apa yang dilakukan manusia berupa saling berjabat tangan usai sholat lima waktu hukumnya dibenci, dan tidak ada asal-usulnya dalam syar’at.”[11]
-        Demikian juga Quthbuddin bin Alauddin al-Makki al-Hanafi, bahkan beliau menjadikannya termasuk bid’ah yang buruk dalam kitabnya Majalisul Abror, beliau berkata, “Saling berjabat tangan adalah perkara yang baik ketika saling berjumpa. Adapun dalam keadaan bukan saling berjumpa seperti berjabat tangan usai sholat Jum’at dan sholat Id seperti kebiasaan manusia saat ini, maka hadits-haditsnya tidak menyebutkan hal itu, sehingga tetap tidak ada landasannya, padahal sudah menjadi baku dalam tempatnya (kaidah) : ‘Apa saja yang tiada dalilnya maka tertolak, dan tidak boleh taklid (membebek) dalalm hal itu.’”[12]
-        Para ulama ahli fiqih dari kalangan madzhab Hanafi, Syafi’i dan Maliki terang-terangan mengatakan hal itu termasuk perkara yang dibenci dan bid’ah, seperti disebutkan dalam al-Multaqot, “Saling berjabat tangan usai sholat hukumnya dibenci secara total, sebab para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah saling berjabat tangan usai sholat, dan itu termasuk (mengikuti) sunnah / petunjuknya kaum Rofidhoh.”[13]
-        Syaikhul Islam ketika ditanya tentang hukum berjabat tangan usai sholat, beliau menjawab, “Saling berjabat tangann usai sholat bukan termasuk sunnah, melainkan termasuk bid’ah.”[14]
-        Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah“Adapun saling berjabat tangan usai sholat, maka tidak diragukan itu bid’ah, kecuali jika dua orang belum saling berjumpa saat itu, maka disunnahkan saling berjabat tangan (usai sholat).”[15]
-        Lajnah Daimah ditanya hukum berjabat tangan usai sholat apakah termasuk bid’ah atau sunnah?
Jawabnya : Saling berjabat tangan  usai sholat dengna menjadikannya rutinitas, tidak kami ketahui dalilnya. Hal itu termasuk bid’ah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barang siapa mengamalkan suatu amalan (agama) yang tidak ada dalil padanya, maka bertolak.” Dalam suatu riwayat, “Barang siapa mengada-adakan dalm urusan (agama) kami yang tidak termasuk didalamnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari : 2499 dan Muslim : 3242) (Fatawa Lajnah Daimah no. 268).

Walhasil, apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin ketika masuk masjid tanpa mengucapkan salam dan langsung diam di masjid sampai selesai sholat baru kemudian saling berjabat tangan dan menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, maka termasuk bid’ah. Adapun saling berjabat tangan secara umum ketika pertama kali berjumpa disertai dengan ucapan salam sebelumnya, maka hukumnya sunnah.[16]

MENYIKAPI JABATAN TANGAN USAI SHOLAT
Sebagai saudara kita barangkali karena menganggap jabat tangan usai sholat adalah bid’ah lalu dia menolak ajaran jabat tangan orang yang tidak tahu (orang awam) terhadap bid’ah dengan dalih mengingkari kemungkaran, lalu yang timbul adalah fitnah, kecurigaan, kebencian, dan tidak tersampaikannya sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik.
Karena itu, jika kondisinya demikian maka bukanlah termasuk sikap yang bijaksana menolak ajakan jabat tangan orang awam, seharusnya ajakan jabat tangan diterima dengan lembut, lalu jika mampu, dia jelaskan hukum jabat tangan yang sebenarnya, karena permasalahannya memang perlu penjelasan dan hukum asalnya sunnah, betapa banyak manusia mendapat petunjuk kebenaran sebab digunakan cara lemah lembut dan bijaksana, dan betapa sering manusia menjauhi kebenaran sebab disampaikan secara kasar dan kurang sopan.[17]

SYUBHAT-SYUBAT
Syubhat pertama
Saling berjabat tangan usai sholat termasuk masalah khilafiyah sehingga tidak boleh diingkari.

Jawabnya : Tidak semua perbedaan / khilaf itu bisa diterima dan tidak boleh diingkari. Kewajiban setiap orang yang beriman ketika menjumpai perbedaan pendapat, dia harus menggali masalah semampunya dengan cara merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat QS. An-Nisa’ [4] : 59). Setelah itu, dia harus memahami dengan benar sehingga mengetahui masalah tersebut termasuk sunnah atau bid’ah menurut al-Qur’an dan sunnah Rosul, kemudian menerapkan kaidah-kaidah ushuliyyah terhadap masalah. Apabila hasilnya bid’ah yang mungkar maka dia wakjib menerangkan masalah tersebut kepada umat dan menasihati umat dengan bijaksana agar tidak melakukannya.[18]

Syubhat kedua
Al-‘Izz bin Abdissalam memasukkan masalah ini ke dalam bid’ah yang mubah bukan haram.

Jawabnya : Adapun pembagian bid’ah menjadi beberapa hukum telah dibantah oleh para ulama[19]. Pada sahabat sepakat bid’ah dalam masalah agama itu semuanya sesat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim 2/595)[20]

Syubhat ketiga
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Hukum asal berjabat sunnah, dan mereka menjadikannya sebagai rutinitas dalam sebagian keadaan (usai sholat misalnya), tidaklah keluar dari koridor hukum asal sunnah.” (Fathul Bari : 11/55)

Jawabnya : Adapun perkataan Imam Nawawi di atas, maka setiap perkataan manusia diterima jika benar dan  ditolak jika salah, sedang perkataan tersebut jelas bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tertolak.[21]
Imam Nawawi menjelaskan maksud perkataan diatas yang masih global dalam kitabnya al-Adzkar, beliau berkata : “Ketahuilah bahwa berjabat tangan ketika saling berjumpa hukumnya sunnah, adapun kebiasaan manusia berupa saling berjabat tangan usai sholat Subuh dan Asar, maka tidak ada asal-usulnya dalam syari’at jika dengan cara seperti ini, tetapi hal itu boleh sebab hukum asal berjabat tangan adalah sunnah, sedangkan mereka melakukannya pada sebagian waktu dan meninggalkannya pada banyak waktu atau mereka tinggalkan pada kebanyakan waktu, maka hal itu tidak keluar dari koridor hukum asal (sunnahnya) berjabat tangan yang telah dianjurkan oleh syari’at.” (Al-Adzkar Pasal “fi al-Mushofahah” : 1/586-587).
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa jika sesekali melakukan hal tersebut – tetapi kebanyakan (sering) nya ditinggalkan – maka hal itu boleh karena keumuman dalil, tetapi jika melazimi / menjadikannya sebagai rutinitas, maka inilah yang termasuk bid’ah. Wallahu A’lam.

Syubhat keempat
Ada hadits yang berbunyi : “Berjaba tanganlah setelah sholat Subuh, maka Allah akan menuliskan bagi kalian 10 pahala.” Dan dalam lafazh lain, “Berjabat tanganlah setelah sholat Asar, maka kamu akan dibalas dengan rahmat dan ampunan.”

Jawabnya : Kedua hadits itu palsu, dibuat-buat oleh para pelaku jabat tangan usai sholat. Demikianlah, hadits-hadits yang semisal itu juga palsu, tidak ada yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[22] Wallahu a’lam
Sumber: Majalah Al Furqon no. 116 edisi:1 th ke.-11 Sya’ban-Ramadhan 1432H

[1]   HR. Thobroni dalam al-Mu’jam al-Ausath : 250, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52.
[2]   Lihat Lisanul Arab : 7/356 karya Ibnu Manzhur dan al-Mu’jamul Wasith hlm. 516
[3]   Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits-hadits (dalam masalah berjabat tangan) semuanya menunjukkan bahwa yang disunnahkan dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan saja, adapun yang dilakukan sebagian masyayikh yang berjabat tangan dengan kedua tangan semuanya, maka hal ini tidak sesuai sunnah.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52).
[4]   Al-Mudziri menghukumi keabsahan hadits ini karena tidak dijumpai perawi yang cacat di dalamnya, Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “bahkan ada hadits yang mengguatkan hadits ini sehingga menjadi kuat, di antaranya hadits Anas dari Dhiya’ al-Maqdisi dalam al-Mukhtaroh, dan al-Mundziri menyandarkan (riwayat ini) kepada Imam Ahmad dan selainnya.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52).
[5]   HR. Thobroni dalam al-Ausath : 3/270, Baihaqi : 7/100, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah : 2647.
[6]   Hadits-hadits yang semakna dengan ini sangat banyak yang disandarkan kepada perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya, semua hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini tidak sah. Akan tetapi, ada sebuah hadits yang hanya sampai pada perkataan sahabat Nabi yaitu al-Baro’ bin Azib, maka riwayat ini sah sampai kepada beliau, semua perawinya tsiqoh tepercaya (lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah 1288).
[7]   Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52
[8]   Lihat al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin karya Masyhur Hasan Salman hlm. 293-294.
[9]   Lihat Fatawa al’Izz bin Abdissalam hlm. 46-47, dan al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 3/488 (dinukil dari al-Qoulul Mubin fi Akhto’il Mushollin karya Masyhur Hasan Salman hlm. 294).
[10]  Lihat as-Si’ayah fil Kasyfi ‘Amma fi Syarhil Wiqoyah hlm. 264, ad-Din al-Kholish : 4/314, al-Madkhol : 2/84, dan as-Sunan wal Mubtada’at hlm. 72-87.
[11]  Ibid
[12]  Lihat al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin Karya Masyhur Hasan Salman hlm. 295.
[13]  Ibid
[14]  Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : 5/335
[15]  Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/23
[16]  Dinukil secara bebas dari al-Masjid fil Islam Ahkamuhu wa Adabuhu wa Bida’uhu karya Khoiruddin al-Wanili, cet. Ad-Darul Atsariyah, cetakan 1428 H.
[17]  Lihat Tamamul Kalam fi Bid’iyyatil Mushofahah Ba’das Salam hlm. 23, dinukil secara bebas dari al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin hlm. 296-297.
[18]  Lihat Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan karya penulis hlm. 70-76, cetakan pertama, Pustaka al-Ummat, 1427 H.
[19]  Lihat keterangan “semua bid’ah adalah sesat” yang sangat memuaskan dalam al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi fil Ummah karya Abu Usamah Salim bin Id al-Hilali hlm. 100-106, lihat pula Ilmu Ushul al-Bida’ karya Ali bin Hasan al-Halabi hlm. 91-105, al-I’tishom karya Ali bin Hasan al-Halabi hafidhahullah hlm. 91-105, al-I’tishom karya Imam asy-Shathibi : 1/319, dan al-Ibda’ fi Kamil asy-Syar’i karya Syaikh Ibnu Utsaimin hlm. 13.
[20]  Lihat penjelasan masalah “semua bid’ah sesat” dalam al-I’tishomi karya Imam asy-Syathibi : 2/49, lihat juga Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan, Tahlilan, dan Selamatan hlm. 34-38.
[21]  Muhammad Syamsuddin al-Azhim al-Abadi telah membantah perkataan Imam Nawawi di atas dan menegaskan bahwa perkataannya jelas salah (lihat Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud : 11/247).
[22]  Lihat as-Si’ayah fil Kasyfi ‘Amma fi Syarhil Wiqoyah hlm. 265 (dinukil secara bebas dari al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin hlm. 296).
link rujukan
F. Bid’ahkah Berjabat Tangan Setelah Sholat?
ibnuabbaskendari.wordpress.com
ibnuabbaskendari.wordpress.com
Berjabatan tangan setelah dzikir bersama seusai sholat merupakan kebudayaan yang sudah ‘menasional’. Meskipun acara ini sudah terpisah dari dzikir, tetapi sudah dianggap masyarakat sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dzikir seusai sholat berjama’ah. Oleh karena itu, tidak lengkap rasanya, jika pembahasan koreksi kesalahan seputar dzikir setelah sholat tidak  membahas masalah ini.

Makna Jabat Tangan
Bersalam-salaman – dalam bahasa kita – diambil dari bahasa Arab yang bermakna (berjabat tangan). Disebut saling berjabat tangan apabila seseorang meletakkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain (Lihat Lisanul Arab : 7/356 karya Ibnu Manzhur dan al-Mu’jamul Wasith hlm. 516) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]

Keutamaan Jabat Tangan
Jabat tangan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan muslim lainnya (dengan ikhlash dan kecintaan) apabila bertemu akan menggugurkan dosa-dosanya. Hal ini sesuai dengan perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إن المؤمن إذا لقي المؤمن فسلم عليه و أخذ بيده فصافحه تناثرت خطاياهما كما يتناثر ورق الشجر
“Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya” [Shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihahnomor 526, 2004, dan 2692].
Juga perkataan beliau dari Barra’ bin ‘Azib radliyallaahu ‘anhu :
ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni (dosanya) sebelum keduanya berpisah [Shahih, lihat Ash-Shahiihah nomor 525]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)
Etika Berjabat Tangan
1. Berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri 
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunatkan dalam berjabat tangan dengan wajah yang berseri-seri. Berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Janganlah kamu meremekan suatu kebaikkan apapun sekalipun hanya menjumpai saudaramu dengan wajah yang berseri-seri”. Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu [Shahih Muslim (no. 2626)], dan masih banyak hadits lainnya yang membicarakan tentang hal ini.”[Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab (4/476)]
2. Berjabat tangan dengan satu tangan.
Etika ini di ambil dari hadits yang memerintahkan untuk bermushafahah (berjabat tangan) karena itulah makna berjabat tangan secara etimologi.
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Memegang dengan satu tangan dalam berjabat tangan. Sungguh telah terdapat penjelasanya dalam banyak hadits, bahkan asal usul lafadz mushâfahah secara etimologi menunjukkan hal ini. Dalam kamus Lisânul Arab : “al-Mushâfahah” artinya memegang dengan satu tangan, dan begitu juga at-tashâfuh.
Dan mushafahah dalam hadits bermushafahah (berjabat tangan) tatkala berjumpa, termasuk dalam makna ini. Mushafahah adalah perbuatan yang saling melengketkan telapak tangan dengan telapak tangan dan wajah menghadap wajah (saling berhadapan)”.
Kemudian beliau membawakan hadits Hudzaifah diatas tentang keutamaan berjabat tangan seraya berkata : “Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah dalam berjabat tangan adalah memegang dengan satu tangan. Sedangkan apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berjabat tangan dengan dua tangan adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah.” [Silsilah ash-Shahihah (1/22-23)]
3. Tidak membungkuk Saat berjabat tangan, karena ini dilarang dalam agama.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ
Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, salah seorang dari kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah ia menundukkan punggung kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia merangkul dan menciumnya ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia memegang tangannya kemudian ia berjabat tangan dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Ya” [HR at-Tirmizi (no.2728). ia berkata: "Hadits hasan"].
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan “Makruh hukumnya menundukkan punggung dalam segala kondisi bagi sesorang, berdasarkan hadits Anan di atas, “Apakah kami menundukkan punggung” Beliau n menjawab, “Tidak”, dan tidak ada yang menyelisihi hadits ini. Dan jangan kamu tertipu dengan mayoritas orang yang melakukannya seperti orang-orang yang dianggap berilmu atau shâlih dan semisal mereka.” [Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, Imam Nawawi (4/635)] {http://almanhaj.or.id/content/3337/slash/0/berjabat-tangan-sunnahkah/}

Kapan Dianjurkan Berjabat Tangan?
Hadits di atas menunjukkan bahwa secara umum disyaria’atkan bagi seorang muslim berjabat tangan dan mengucapkan salam saat berjumpa dengan sesama muslim sebagaimana hadits yang telah jelas diatas, demikian kebiasaan para sahabat seperti yang dikatakan oleh asy-Sya’bi :
“Biasanya para sahabat Nabi jika saling berjumpa, mereka saling berjabat tangan, dan jika datang dari bepergian jauh mereka berpelukan.” (HR. Thobroni dalam al-Ausath : 3/270, Baihaqi : 7/100, dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Shohihah: 2647.)

Demikian juga disyari’atkan untuk saling berjabat tangan dan mengucapkan salam ketika hendak saling berpisah, sebagaimana keumuman hadits al-Baro’ bin Azib, beliau berkata :
“Termasuk di antara kesempurnaan penghormatan adalah jika engkau menjabat tangan saudaramu.” (Riwayat ini shohih, semua perawinya tsiqoh, lihat Silsilah al-Ahadits adh-Dho’ifah 1288).
 Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Siapa yang meneliti hadits-hadits tentang (anjuran) berjabat tangan ketika saling berjumpa akan menjumpai hadits-hadits tersebut lebih kuat dibandingkan hadits-hadits anjuran berjabat tangan ketika saling berpisah, maka siapa yang mengerti dirinya, akan menarik kesimpulan bahwa saling berjabat tangan yang kedua (saat berpisah) anjurannya tidak sama tingkatannya dengan anjuran berjabat tangan yang pertama (saling berjumpa), yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua hanya dianjurkan, adapun perkataan bahwa (berjabat tangan saat berpisah) itu adalah bid’ah, maka perkataan ini tidak benar sebagaimana dalil yang kami sampaikan.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/52) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]
Dalam konteks shalat berjama’ah di masjid pun, jabat tangan ini hanya dilakukan ketika memasuki masjid dan terjadi pertemuan antara seseorang dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam riwayat :
عن عبد الله بن عمر يقول : خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى قباء يصلي فيه قال فجاءته الأنصار فسلموا عليه وهو يصلي قال فقلت لبلال كيف رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون عليه وهو يصلي قال يقول هكذا وبسط كفه وبسط جعفر بن عون كفه وجعل بطنه أسفل وجعل ظهره إلى فوق
Dari ’Abdillah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam keluar menuju Masjid Quba’ dan melakukan shalat di dalamnya. Maka datanglah sekelompok shahabat Anshar mendatangi beliau dan mereka mengucapkan salam ketika beliau sedang shalat”. Maka aku (Ibnu ’Umar) berkata kepada Bilaal : ”Bagaimana engkau melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab salam mereka padahal ketika itu beliau sedang shalat ?”. Maka Bilal menjawab : ”Seperti ini”. Bilal membuka telapak tangannya. Ja’far bin ’Aun (perawi hadits ini – menjelaskan apa yang dijelaskan oleh Bilaal dengan mempraktekkan) membuka telapak tangannya dengan cara menjadikan telapak tangannya menhadap ke bawah, dan punggung telapak tangannya menghadap atas” [HR. Abu Dawud no. 927; shahih].

Juga sebagaimana kisah Ka’b bin Malik yang masyhur dimana ia menceritakan :
…..حَتَّى دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم جَالِسٌ حَوْلَه النَّاسُ ، فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ رضي الله عنه يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَني وَهَنَّأَنِي…..
”….Hingga ketika aku masuk masjid, ternyata Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam sedang duduk dikerumuni oleh orang-orang. Maka berdirilah Thalhah bin ’Ubaidillah radliyallaahu ’anhu berlari-lari kecil untuk menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku…” [HR. Bukhari no. 4156 dan Muslim no. 2769]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)
Hukum Mengkhususkan Jabat Tangan Setelah Sholat
Telah kita ketahui bersama bahwa mengucap salam dan berjabat tangan  dianjurkan kapan saja ketika sesama muslim saling berjumpa dan hendak berpisah. Sementara itu, tidak diketahui pada seorang pun dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta generasi berikutnya, bahwa mereka usai sholat langsung menyalami orang yang dikanan dan kirinya. Seandainya hal itu dilakukan oleh salah satu dari mereka, niscaya akan dijelaskan oleh para ulama dan akan sampai keterangannya kepada kita – walaupun hanya dengan hadits yang lemah, padahal kenyataannya tidak ada satu pun hadits yang menerangkan hal itu, bahkan banyak para ulama yang menegaskan bahwa hal itu merupakan perbuatan bid’ah. (Lihat al-Qoulul Mubin fi Akhtho’il Mushollin karya Masyhur Hasan Salman hlm. 293-294) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]

Agar hukum masalah ini lebih jelas, berikut kami tampilkan perkatan ‘ulama dari berbagai madzhab
1. ‘Ulama madzhab Hanafiyah
a. Imam Ibnu ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya (6/381) berkata :
“Akan tetapi, dapatlah dikatakan bahwa menjadikan hal itu sebagai rutinitas yang dilakukan setelah selesai shalat yang lima waktu (itu merupakan satu kesalahan), sebab nanti orang-orang awam akan meyakini perbuatan itu sebagai suatu amalan yang sunnah yang biasa dilakukan pada tempat-tempat tersebut. Dan mereka juga akan meyakini bahwa perbuatan tersebut memiliki kelebihan tertentu dibandingkan amalan-amalan lainnya. Padahal mereka jelas-jelas menyatakan bahwa amalan tersebut tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari kaum salaf pada tempat-tempat tersebut (yaitu jabat tangan seusai shalat). Begitulah juga ketika mereka menyatakan sunnahnya bagi kita untuk membaca tiga macam surat (Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas di dalam raka’at terakhir pada) shalat witir, bersamaan dengan itu mereka juga menganjurkan untuk meninggalkannya sesekali waktu, agar hal tersebut tidak dianggap wajib hukumnya. Dan telah dinukil dalam kitab Tabyiinil-Mahaarim dari Al-Multaqith; tentang pendapat dibencinya berjabat tangan setelah selesai shalat dalam keadaan bagaimanapun juga. Hal itu disebabkan para shahabat tidaklah berbuat hal tersebut, dan hal itu merupakan sunnahnya kaum Rafidlah” ( = yaitu sebuah kelompok sesat).
b. Syaikh Mullah Ali Al-Qari Al-Hanafy telah berkata :
“Dimana posisi perbuatan ini dalam sunnah yang disyari’atkan (baca : Mana dalil tentang sunnahnya perbuatan ini – yaitu berjabat tangan seusai shalat) ? Untuk itulah, maka sebagian ulama kami telah memakruhkannya (membencinya) bila dilakukan pada saat tersebut (yaitu seusai shalat), dan hal tersebut termasuk perbuatan bid’ah yang tercela” [lihat kitabTuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury].
c. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury berkata setelah menukil perkataan Al-Qaariy dan Al-Hafidh Ibnu Hajar :
”Perkaranya adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Qaariy dan Al-Haafidh” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarah Sunan At-Tirmidzi 7/427 oleh Al-Mubarakfury]. {Yaitu beliau menyepakati perkataan Al-Qaariy dan Al-Haafidh tentang bathilnya pemutlakan pembagian bid’ah menjadi lima (yaitu bid’ah waajibahbid’ah muharramah,bid’ah makruuhahbid’ah mustahabbah, dan bid’ah mubaahah) dan bid’ahnya perbuatan berjabat tangan seusai shalat. Silakan lihat dalam referensi yang telah ditunjukkan.}
2. Ulama madzhab Malikiyyah 
Imam Ibnul-Hajj Al-Maliki berkata dalam kitabnya Al-Madkhal (2/219) :
“Dan patut baginya untuk melarang untuk melarang manusia dari melakukan apa yang telah mereka ada-adakan (dalam agama ini dengan) berjabat tangan setelah selesai shalat ‘Asar, shalat Shubuh, dan shalat Jum’at. Dan bahkan pada saat ini mereka juga telah melakukannya pula setelah shalat yang lima waktu. Semua itu termasuk perbuatan bid’ah (yang terlarang)Adapun tempat yang benar (yang telah dibenarkan dalam agama) untuk melakukan jabat tangan itu adalah di saat seorang muslim bertemu dengan saudaranya (yang muslim). Bukannya di setiap selesai dari shalat. Ketika agama ini mengajarkan kita demikian, maka hendaklah kita cukup mengikutinya saja (tanpa menambah-nambah). Maka wajib untuk melarang mereka dari berbuat hal tersebut. Dan hendaklah orang yang berbuat hal itu dicela lantaran apa yang telah ia perbuat menyelisihi sunnah” [lihat juga kitab Tahiyyatus-Salaam fil-Islaam 2/842].
3. Ulama madzhab Syafi’iyyah
a. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
“(Perbuatan seperti itu – yaitu berjabat tangan setelah shalat) termasuk perbuatan bid’ah yang dibenci. Tidak ada asal-usulnya dalam agama ini. Dan wajib bagi setiap orang yang melakukannya untuk diperingati dalam kali yang pertama dan dihukum ta’zir pada kali yang kedua” [lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 6/381].
Beliau juga berkata :
“Yang telah ditunjuki dengan jelas oleh dalil-dalil sunnah, dan juga yang telah diungkapkan secara jelas oleh An-Nawawi dan yang lainnya adalah bahwa ketika terjadi pertemuan antara dua orang (muslim), maka disunnahkan atas setiap dari mereka untuk menjabat tangan saudaranya itu. Dan ketika hal itu tidak terjadi (yaitu pertemuan antara dua orang muslim) seperti berkumpulnya mereka dalam satu majelis dan tidak berpisah di antara mereka, maka tidaklah disunnahkan. Sama halnya dengan ini semua adalah (apa yang biasa diperbuat oleh kebanyakan orang) yang berjabat tangan seusai shalat, walaupun itu adalah shalat ‘Ied, atau juga (pertemuan untuk) pelajaran, ataupun juga hal-hal yang selain dari keduanya, bahkan kapan saja terjadi pertemuan antara keduanya,…. ketika ada kemungkinan perpisahan antara keduanya, maka hal itu disunnahkan. Sebaliknya, ketika tidak ada kemungkinan itu, maka tidak disunnahkan” [Al-Fataawaa Al-Kubraa 4/245].
b. Imam Al-‘Izz bin Abdis-Salaam mencela perbuatan ini dengan perkataannya :
”Berjabat tangan seusai shalat Shubuh dan ’Asar termasuk perbuatan bid’ah. Kecuali bagi orang yang baru datang dalam sebuah majelis lalu ia berjabat tangan dengan orang lain sebelum shalat. Sebenarnya, berjabat tangan merupakan hal yang disyari’atkan ketika seseorang baru datang. Adalah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ketika shalat usai, beliau melakukan dzikir-dzikir yang disyari’atkan, beristighfar tiga kali, kemudian setelah itu beliau baru menyingkir. Dan telah diriwayatkan bahwasannya beliau berdoa : ”Wahai Tuhanku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan semua hamba-Mu”. Dan segala kebaikan hanyalah ada pada sikap itiiba’ (mengikuti) Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam ” [Fataawaa Al-’Izz bin ’Abdis-Salaam hal. 46-47]. 

c. Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (pensyarah kitab Shahih Al-Bukhari) telah menyangkal orang yang memperbolehkan perbuatan itu dalam Fathul-Baari (12/324).
4. Ulama madzhab Hanabilah
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab Majmu’ Fataawaa-nya (23/339) :
Beliau ditanya tentang (hukum) berjabat tangan setelah selesai shalat : “Apakah perbuatan ini termasuk Sunnah atau bukan ?”
Kemudian beliau menjawab : “Alhamdulillah,…. berjabat tangan setelah selesai shalat itu bukanlah termasuk perbuatan yang disunnahkan. Akan tetapi hal itu termasuk perbuatan bid’ah. Allaahu a’lam”.
5. Ulama masa kini 
a. Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daaimah lil-Buhuts wal-Ifta’ (Komisi Tetap Riset/Pembahasan dan Fatwa) Saudi Arabia pernah ditanya hal sebagai berikut :
“Apakah hukumnya berjabat tangan kepada seseorang yang telah selesai dari shalat dan mengucapkan salam kepada imam serta kepada orang-orang yang berada di samping kanan dan kirinya ?”
Maka mereka menjawab sebagai berikut :
“Apabila orang itu belum berjabat tangan ketika bertemu dengannya sebelum dia shalat, maka dia boleh untuk menjabat tangannya setelah dia salam, baik shalat yang wajib maupun sunat/nafilah, baik jama’ah yang ada di kiri maupun di kanannya. Dan apabila setelah shalat wajib, maka dia melaksanakan itu (yaitu berjabat tangan) adalah waktu selesai dzikir setelah selesai shalat. Adapun perbuatan makmum yang menyampaikan salam kepada imam setelah selesai dari shalat, maka kami belum mengetahui adanya sesuatupun (dalil) yang khusus (menerangkan) hal itu” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah no. 3866].
b. Abul-Hasan Abdul-Hay Al-Luknawy (seorang fuqaahaa dan ahli hadits dari negeri India) berkata :
“Telah tersebar luas perbuatan bid’ah dan fitnah pada jaman kita sekarang ini di berbagai belahan negeri, yaitu dua hal yang sudah selayaknya patut untuk ditinggalkan :
Pertama, bahwasannya mereka tidak mengucapkan salam ketika masuk ke masjid pada waktu shalat Shubuh. Akan tetapi mereka langsung masuk begitu saja dan mengerjakan shalat sunnah. Baru setelah itu mereka mengerjakan shalat fardlu. Mereka malah mengucapkan salam kepada sesama mereka setelah shalat telah usai. Ini adalah perbuatan yang buruk/jelek. Sesungguhnya mengucapkan salam itu hanyalah disunnahkan ketika adanya perjumpaan, sebagaimana yang telah tetap hal itu dalam hadits. (Mengucapkan salam itu) bukan dilakukan di tengah-tengah majelis yang sedang berlangsung.
Kedua, bahwasannya mereka berjabat tangan seusai shalat Shubuh, shalat ’Asar, shalat ’Iedain, dan shalat Jum’at dengan berkeyakinan bahwa hal itu disyari’atkan. Padahal berjabat tangan itu hanyalah dilakukan di awal perjumpaan saja” [As-Si’aayah hal. 264].
Beliau menambahkan :
”Di antara ulama yang melarang berjabat tangan seusai shalat adalah Ibnu Hajar Al-Haitamiy Asy-Syafi’iy dan Quthbuddin bin ’Alaauddin Al-Makkiy Al-Hanafiy. Adapun Al-Faadlil Ar-Ruumiy dalam kitab Majaalisul-Abraar mengklasifikasikannya sebagai perbuatan bid’ah yang keji, dimana ia berkata : ’Berjabat tangan itu adalah perbuatan yang baik ketika bertemu, Adapun jika dilakukan selain waktu tersebut, seperti berjabat tangan seusai shalat Jum’at dan ’Iedain sebagaimana yang menjadi tradisi pada jaman kita, tidak ada hadits yang menjelaskan/mengajarkan hal seperti itu. Maka tinggallah perbuatan tersebut (dilakukan) tanpa adanya dalil, hingga harus dikatakan pada pembahasan ini : Segala sesuatu yang tidak memiliki dalil, maka ia adalah tertolak dan tidak boleh untuk diikuti” [idem].
”Selain itu para fuqahaa dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah secara jelas membenci perbuatan tersebut dan menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah. Dan dikatakan dalam kitabAl-Multaqath : ’Berjabat tangan seusai shalat merupakan perbuatan yang dibenci dalam segala kondisi. Hal itu dikarenakan para shahabat tidaklah berjabat tangan seusai shalat. Justru hal tersebut merupakan perbuatan kaum Rafidlah. Telah berkata Ibnu Hajar dari kalangan ulama Syafi’iyyah : ’Apa yang dilakukan manusia dari perbuatan berjabat tangan seusai shalat lima waktu adalah perbuatan yang dibenci (makruh), tidak ada asalnya dalam syari’at” [idem]. (http://abul-jauzaa.blogspot.sg/2008/08/berjabat-tangan-seusai-shalat.html)
Lihat perkataan Al Laknuwi secara lebih lengkap di: http://almanhaj.or.id/content/3003/slash/0/salam-dan-berjabat-tangan-selesai-shalat/
c. Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah“Adapun saling berjabat tangan usai sholat, maka tidak diragukan itu bid’ah, kecuali jika dua orang belum saling berjumpa saat itu, maka disunnahkan saling berjabat tangan (usai sholat).” (Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah : 1/23) [http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/01/24/berjabat-tangan-usai-sholat-sunnah-atau-bidah/]
d. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin mengatakan,”Banyak orang-orang shalat menjulurkan tangan-tanganya untuk berjabat tangan dengan orang-orang di sekitarnya. Ini dilakukan langsung setelah salam (selesai) dari shalat wajib sambil berdo’a dengan do’a taqabbalallahu. Perbuatan ini adalah bid’ah. Tidak diriwayatkan dari Salaf.” (Majalah Al Mujtama’, Edisi 855.) [http://almanhaj.or.id/content/3003/slash/0/salam-dan-berjabat-tangan-selesai-shalat/]
link rujukan
rujukan lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar