Tuntunan Buang Air Menurut Islam
Islam diturunkan untuk memuliakan manusia. Semua
perilaku dan tindakan manusia dalam Islam diarahkan menuju kepada kemuliaan itu
sehingga tampak beda antara dia dengan binatang. Di antara bimbingan Islam
untuk memuliakan manusia adalah adab dan aturan dalam buang hajat, buang air
besar dan air kecil.
Pada suatu hari kaum musyrikin berkata kepada Salman
al Farisi radliyallah 'anhu perihal ajaran yang disampaikan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "(Benarkan) Nabi kalian
telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai pun perkara adab buang
hajat?” Salman menjawab, "Benar (beliau mengajarkan kami adab buang
hajat), beliau melarang kami menghadap kiblat ketika berak atau kencing,
bercebok dengan tangan kanan . . . ." (HR. Muslim)
Aturan atau adab buang hajat adalah bagian dari
syariat Islam yang menjadi bukti syumuliyah-nya. Maksudnya segala
persoalan ada petunjuknya di dalam Islam. Karenanya seorang muslim harus
memperhatikan dan mempraktekkan ketika membuang hajat agar menjadi muslim yang kaffah
dalam melaksanakan ajaran agamanya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu
ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (QS, al
Baqarah: 208)
Segala persoalan ada petunjuknya di dalam
Islam. . . Hingga masalah buang hajat
Berikut ini akan kami sebutkan tiga di antara adab dan
aturan buang hajat yang paling penting dan kurang mendapat perhatian manusia
secara umum.
I. Berdoa ketika hendak masuk kamar
kecil (toilet) dan ketika keluar
Hal pertama yang harus diperhatikan seorang muslim
yang hendak masuk ke toilet adalah membaca do'a:
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك مِنْ الْخُبُثِ
وَالْخَبَائِثِ
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari syetan laki-laki dan syetan perempuan”
Atau:
بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك مِنْ
الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari syetan laki-laki dan syetan perempuan”.
Doa pertama didasarkan pada hadits Anas bin Malik radliyallah
'anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْخُبُثِ
وَالْخَبَائِثِ
”Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam apabila
masuk ke kamar kecil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari syaitan laki-laki dan syaitan perempuan.” (Muttafaq 'alaih)
Sedangkan doa ke dua di samping hadits Anas di atas
juga didasarkan pada hadits Ali bin Abi Thalib radliyallah 'anhu, bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "penghalang
pandangan jin terhadap aurat manusia adalah apabila dia masuk ke kamar kecil ia
mengucapkan Bismillah." (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Syekh al Albani dalam Shahih al Jami' ash Shaghir no.
3611)
Maksud apabila masuk ke kamar kecil
dalam kedua riwayat di atas adalah sebelum masuk ke kamar kecil, bukan ketika
sudah berada di dalamnya. Hal ini berdasarkan riwayat al Bukhari dalam al
Adab al Mufrad dari hadits Anas, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إذَا أَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ الْخَلَاءَ
"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam apabila hendak masuk ke kamar kecil . . "
Sementara apabila di tempat yang terbuka yang tidak
dikhususkan untuk buang hajat, seperti padang pasir dan hutan, maka doa ini
dibaca tatkala hendak ditunaikannya hajat seperti ketika seseorang menyingkap
pakaiannya. (Subul as Salam, 1/222).
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama dan mereka
mengatakan kalau seseorang lupa membaca doa ini maka ia membacanya dalam hati.
(Fathul Bari, 1/307).
Kenapa harus berdoa dengan doa di atas?
Karena WC dan semisalnya merupakan tempat kotor yang
dihuni oleh syetan maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar ia tidak ditimpa oleh kejelekan makhluk
tersebut. (Asy Syarhul Mumti‘, 1/83)
Doa keluar dari Toilet
Dan ketika keluar dari toilet membaca doa: غُفْرَانَكَ (ghufroonaka), artinya: "aku
mohon ampunan-Mu, Ya Allah."
Hal ini didasarkan pada hadits Aisyah radliyallah
'anhu,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا خَرَجَ مِنْ الْخَلَاءِ قَالَ غُفْرَانَكَ
"Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
apabila sudah keluar dari kamar kecil beliau membaca: Ghufraanaka."
(HR. at Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh al Albani dalam
al Irwa, no. 52)
II. Langkah kaki ketika masuk dan keluar toilet
Disunnahkan agar mendahulukan kaki kiri ketika masuk
ke kamar kecil dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar darinya. Dalilnya
adalah sunnah yang memerintahkan agar mendahulukan yang kanan untuk hal mulia
dan mendahulukan yang kiri untuk hal yang tidak mulia. dan banyak riwayat yang
menunjukkan hal itu secara global. (as Sail al Jarraar: 1/64)
Sedangkan hadits riwayat al Bukhari dan Muslim yang
menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenangi
mendahulukan bagian yang kanan dalam seluruh keadaan beliau, bersifat umum. Dan
menurut Ibnu Daqiq al 'Ied, dikhususkan pada keadaan-keadaan tertentu dimulai
dengan yang kiri, seperti apabila beliau masuk toilet, keluar dari masjid dan
yang lainnya. (Syarah ‘Umdatil Ahkam, 1/44)
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Merupakan
kaidah yang berkesinambungan dalam syariat sebagai bentuk penghormatan dan
pemuliaan bagi bagian kanan seperti memakai pakaian, celana, sandal, masuk
masjid, bersiwak, bercelak, menggunting kuku, mencukur kumis, menyisir rambut,
mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, salam ketika selesai shalat, mencuci
anggota wudhu, keluar dari WC, makan, minum, berjabat tangan, menyentuh hajar
aswad dan selainnya yang maknanya dianjurkan untuk memulai dari bagian kanan.
Adapun lawan dari perkara di atas seperti masuk WC, keluar dari masjid,
istinja, melepas pakaian, celana, sandal dan yang semisalnya, dianjurkan untuk
memulai dengan mendahulukan yang kiri. Semua itu dilakukan untuk memuliakan
bagian kanan.” (Syarah Shahih Muslim, 3/160)
Disunnahkan agar mendahulukan kaki kiri
ketika masuk ke kamar kecil dan mendahulukan kaki kanan ketika keluar darinya.
III. Larangan menghadap dan
membelakangi Kiblat
Seorang muslim yang sedang buang air hendaknya tidak
menghadap atau membelakangi kiblat. Hal berdasarkan hadits Abu Ayyub Al Anshari
radliyallah 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda:
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا
الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
"Apabila kalian mendatangi tempat buang air,
baik untuk buang ari besar atau kecil, maka janganlah kalian menghadap ke
arah kiblat dan jangan pula membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke arah
timur atau ke arah barat (bagi mereka yang berada di daerah bagian utara atau
selatan kiblat).”
Abu Ayyub berkata, "kami pernah datang ke Syam
dan kami dapati di sana toilet-toilet dibangun menghadap ke arah kiblat, maka
kami ubah arahnya dan kami pun beristighfar kepada Allah Ta'ala." (HR. Al
Bukhari dan Muslim)
Abu Ayyub meriwayatkan hadits di atas dengan lafadz
umum. Karenanya, larangan menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air
menurut hadits ini adalah bersifat umum, baik di toilet yang tertutup maupun di
tempat terbuka. Inilah kesimpulan yang diambil oleh sebagian ulama, sehingga
larangan dalam hadits ini bersifat mutlak. (Lihat: Tamamul Minnah oleh
al Albani rahimahullah)
Sebagian ulama lainnya berpendapat larangan menghadap
kiblat atau membelakanginya berlaku saat buang hajat di tempat terbuka. Ini
berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Umar radliyallah 'anhuma yang
berkata: "aku pernah naik ke atap rumah saudariku –Hafshah- (untuk
keperluan. Secara tidak sengaja) aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sedang jongkok buang air (di toilet di dalam rumah) dengan menghadap
ke arah Syam dan membelakangi kiblat." (HR. al Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama lainnya berpendapat larangan
menghadap kiblat atau membelakanginya berlaku saat buang hajat di tempat
terbuka. (pendapat yang lebih rajih)
Kesimpulan yang kedua ini berdasarkan kaidah, "apabila
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang sesuatu tetapi beliau sendiri
melakukannya maka larangan tersebut tidak menunjukkan haram, melainkan hanya
sebatas makruh." Dan hadits yang diriwayatkan Abu Ayyub adalah
'Amm (bentuknya umum) sedangkan hadits Ibnu Umar bentuknya Khass (Khusus), maka
yang dipakai adalah riwayat Ibnu Umar berdasarkan kaidah ushul al Fiqh, "dalil
khusus harus lebih didahulukan dari dalil umum." Ini adalah
pendapat yang lebih rajib (kuat) dan merupakan pendapat Imam Malik, Asy
Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Asy Sya‘bi dan ini merupakan pendapat jumhur ahli ilmu.
(Syarah Shahih Muslim 3/154, Syarah Sunan An Nasa’i lis Suyuthi 1/26)
Pendapat ini juga dikuatkan dengan hadits Jabir bin
Abdillah Al Anshari radliallahu anhu, “Sungguh beliau melarang kami
untuk membelakangi dan menghadap kiblat dengan kemaluan-kemaluan kami apabila
kami buang air. Kemudian aku melihat beliau kencing menghadap kiblat setahun
sebelum meninggalnya.” (HR. Ahmad dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil
dalam Al Jami`ush Shahih, 1/493)
Akan tetapi yang afdhal bagi seorang muslim adalah
tidak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air, baik di tempat
tertutup maupun di tempat terbuka sebagai sikap berhati-hati dari hadits-hadits
yang menunjukkan larangan akan hal ini. Demikianlah karena hadits ibnu Umar,
boleh jadi, muncul sebelum adanya larangan menghadap atau membelakangi kiblat
saat buang air. Dan bisa juga bolehnya menghadap atau membelakangi kiblat saat
buang air hanya khusus bagi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saja,
karena beliau melakukannya di tempat tersembunyi dan tidak berusaha
memperlihatkan dan memberitahkan kepada orang lain. (Inilah pendapat Syaikh Bin
Bazz dalam Syarh-nya terhadap Bulugh al Maram).
. . . yang afdhal bagi seorang muslim adalah
tidak menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang air, baik di tempat
tertutup maupun di tempat terbuka sebagai sikap berhati-hati . . .